(Oleh: Siti Erna/Na Erna Sumba)
“Sudah ku bilang dek, mengapa kamu tetap bersikukuh sekolah? Di desa ini tidak ada pekerjaan, kecuali bertani, andai kata abang banyak uang, kamu akan saya sekolahkan kemanapun kau mau.”
“Tapi, saya bisa bekerja di kota sambil sekolah kan?” Sahut Asrul.
“Aaaalah…” Muka masam Abang Rais dan pergi meninggalkan Asrul tanpa berkomentar.
Hari demi hari sama bagi Asrul, tidak bekerja di sawah, hanya diam di dalam rumah, dan hanya masak nasi sambil menunggu abangnya datang dari sawah. Semenjak ibu mereka telah tiada dan disusuli ayahnya, abang Rais bekerja menggantikan ayahnya di sawah, selesai SMA bukan untuk melanjutkan kuliah, tapi bekerja di sawah hanya untuk mencari uang agar bisa bertahan hidup bersama adik tercintanya. Asrul baru selesai dari sekolah dasar, dan tidak melanjutkan selama setahun sekolahnya, karena tidak mampu membayar uang dalam hal memenuhi kebutuhan sekolah Asrul. Mereka hidup hanya berdua dalam rumah peninggalan orang tua mereka. Malam pun tiba menghiasi termenungnya abang Rais yang memikirkan sekolah Asrul. Asrul datang menghampiri kakanya yang kelihatannya bingung.
“Bang, tumben disini? Biasanya kan ngumpul sama teman-teman abang di warung buk Marni, kenapa?” Sedikit terkejut sapaan Asrul padanya, “Eh…kirain siapa? Abang lagi mikirin kak Ranti ya…?” Asrul sambil senyum-senyum lucu.
Sedikit tersipuh malu, “ Hehehehe, jangan buat abang ngingat dia, nanti kamu dilupa ,mau?”
“Yaa…gk apa-apa, kaka sudah pantas kok menikah.” Sambil lari meninggalkan abang Rais “Maaf bang lagi lucu saja.”
Keesokan harinya abang Rais sengaja mencari pinjaman untuk adik tercintanya. Pada waktu itu, Asrul kebingungan ketika ke sawah mau melihat abang, tapi abang Rais pun tidak terlihat di tempat. Asrul ketakutan dan trauma jikalau harus kehilangan abangnya lagi.
“Abang……” Begitulah teriakannya. Tak sengaja ketika Asrul ke rumah teman abang Rais, bang Rudi, ternyata abang ada disana dan tak sengaja Asrul menguping perbincangan mereka,
“Iya… mungkin lima juta saja, saya ingin melihat adik saya sekolah.” Ucap bang Rais.
Mendengar percakapan bang Rais, Asrul lari dan merasa bersalah karena memaksa abangnya menyekolahkannya. Sedikit menangis. Dan berdiri memandangi ke halaman rumahnya.
“Assalamualaikum,” begitu suara bang Rais, masuk dan langsung ke kamarnya. Panggilan bang Rais pada adiknya.
“Asrul….”
“Iya bang,”
“Kamu sudah makan siang belum?”
“Iya udah.”
Sejenak, menghampiri bang Rais yang sedang mendengar radio. “Bang, Asrul mau bicara sesuatu!” Bang Rais mematikan radio dan mengisyaratkan dengan mata agar Asrul segera cerita ada apa. Tiba-tiba Asrul duduk membungkuk dan meminta maaf sama bang Rais atas keinginannya sekolah sehingga membuat abang Rais meminjam uang dan menjadi beban bagi abang Rais nanti.
“Kak, Asrul gak mau sekolah jika uang sekolahnya hasil pinjaman, Asrul tahu abang meminjam uang ke bang Rudi untuk sekolah Asrul kan,?”
“Rul, udahlah, abang hanya ingin kamu sekolah.”
“Kalau gitu Asrul mau sekolah tanpa memakai uang pinjaman. Asrul akan bekerja, abang maukan melepas Asrul sekolah ke kota dengan uang kerja Asrul sendiri?”
Terlihat sedih dan begitu berat mengatakan “ya” pada Asrul.
“Baiklah, kamu boleh bekerja ke kota dan sambil sekolah di sana tanpa uang pinjaman ini dan abang akan mengembalikannya, tapi kamu harus membawa sedikit uang tabungan abang dari hasil bertani ini.” Terharu Asrul langsung memeluk kakaknya, “Beneran bang, baiklah Asrul akan sekolah dengan sungguh-sungguh. Menjadi yang terbaik.”
Dua hari kemudian abang Rais bertemu dengan temannya, bang Abdullah yang kebetulan mau ke kota untuk bekerja di sana. Untunglah, teman bang Rais itu mau menemani Asrul ke kota. Abang Rais tidak bisa ke kota, jika ke kota, siapa yang akan melihat rumah dan sawah sayuran peninggalan orang tua mereka. Abang Rais menyiapkan segalanya bagi Asrul, uang lima ratus ribu hasil tabung, bekal di perjalanan dan pakaiannya. Hari ketiga waktunya Asrul berangkat ke kota bersama teman bang Rais ,bang Abdullah. Asrul bersiap-siapa mandi, memakai baju yang sopan dan rapi.
“Assalamualaikum, Rais….” Panggil abang Abdullah.
“Iya bang, mari silahkan masuk dulu, minum teh ini dulu.” Abang Rais kembali masuk menemui Asrul dan menarik sesuatu dari belakang lemari, kresek hitam.
“Asrul, ini, kalau kamu sekolah kamu pakai sepatu ini ya, ini masih layak dipakai, ini pembelian ayah dan ibu dulu, yang di berikan pada abang waktu kelas tiga SMP dan abang sangat menghargai pemberian dengan jerih payah mereka. Asrul termenung dan menjawab, “baiklah bang, terima kasih, jadi Asrul tidak perlu membeli sepatu di sana.” Sambil menepuk pundak Asrul, “Ayo berangkat, ditunggu bang Abdullah.”
Asrul diberi tumpangan naik sepeda abang Abdullah, sehingga tidak perlu membayar ongkosnya. Tidak banyak barang bawaannya Asrul, tas belakang berisi pakaian dan kresek hitam berisi sepatu itu dan sedikit uang. Sambil melambaikan tangan abang Rais teriak sesuatu pada bang Abdullah dengan jarak kendaraan tidak begitu jauh.
“Bang… saya nitip adek saya...!”
Perjalanan selesai, abang Abdullah memberhentikan Asrul di tempat penginapannya dan besok paginya bang Abdullah mencari pekerjaan untuk Asrul. Terdapat salah satu toko yang menjual rempah-rempah dan barang lainnya menerima Asrul bekerja di sana sebagai jasa pengangkut barang. Selain itu Asrul diperkenankan tinggal di sana. Pengusaha toko ini termasuk pengusaha yang berasal dari daerah asal tinggalnya Asrul. Abang Abdullah sangat berjasa untuk Asrul di sini, dalam hal mengantarkan Asrul ke sekolah untuk mendaftarkan sekolah dan membeli pakaian seragam. Begitu perhatian, dianggap sebagai adiknya sendiri. Abang Abdullah sudah memenuhi semua amanat dari bang Rais, mendapat pekerjaan yang cukup untuk Asrul, menemani membeli seragam sekolah dan mendaftarkan Asrul sekolah, di MTs Negeri. Selesai semuanya, bang Abdullah pamit pada Asrul dan pergi ke tempat penginapan dan kembali bekerja seperti biasa. Asrul sangat bahagia karena bisa bekerja. Menurut Asrul, pekerjaan ini adalah hal yang biasa kalau hanya mengangkut-ngangkut barang jualan, di samping itu tidak dikhawatirkan karena ada troli pengangkut barang juga. Uang makan pun dijamin di toko itu. Setiap harinya Asrul bekerja mulai dari pulang sekolah sampai sore hari tepatnya jam enam sore.
Sekolah Asrul berjalan dengan lancar tanpa membingungkan uang sekolah, sekalipun tidak ada uang jajan. Menurut Asrul itu tidak jadi masalah penghambat sekolahnya, karena sepulang sekolah Asrul makan siang di rumah pemilik toko tempat ia bekerja. Terlihat tetap semangat dalam sekolah. Sesampainya di sekolah ada satu teman perempuan yang begitu dekat dengan Asrul ketika sudah di kelas dua MTs, Ansanah namanya. Cantik, pintar dan ramah. Suatu ketika Asrul sering digojloki sama Erwin dan teman-temannya. Penuduhan disengaja karena Erwin sedikit cemburu.
“Hahahaaaa…, Asrul sukanya main sama cewek,… banci kau.” Begitulah teriakan Erwin bersama teman-temannya yang kerjaannya sering kali menggojloki Asrul. Asrul hanya diam, menahan hatinya untuk tidak berkutik. Tapi menurut Asrul, ini hal yang biasa. Selain alasan Erwin terkenal nakal, dalam dunia persahabatan pasti ada cerita yang berwarna-warni, ada pahit, senang, suka dan duka. Asrul tetap menyapa sama Erwin dan teman-temannya.
Suatu hari, tibalah masa ujian akhir sekolah. Kelas 2 MTs ini diberi tugas buat puisi dan membaca di depan kelas sebagai nilai akhir ujian sekolah. Disaat yang sama, Asrul bingung, mengancang-ngancang puisi apa yang akan dibuat, hari yang resah buat Asrul, selain alasan rindu sama abangnya, Asrul juga kebingungan karena takut tidak bisa tampil dengan baik membaca puisi didepan kelas. Memandangi sepatu yang dipakainya dan memain-mainkan kakinya dan bicara sendiri dengan lirih,
“Sepatu …., hmmmm sudah hampir dua tahun memakai sepatu ini, walau sedikit bolong, apa aku harus buat puisi tentang sepatu ini?” Sambil memukul-mukul jari telunjuknya ke keningnya. Tiba-tiba Ansanah datang menghampiri Asrul yang sedang duduk sendirian di dekat kantin sekolah.
“Asrul, apa puisimu untuk minggu depan?”
“Aku bingung judulnya…. An.”
“Mmmm, kalau gitu kamu sedang rindu siapa?” Tanya ansana.
“Mmm saat ini, abang saya, bang Rais, dia pejuang bagiku.”
“Mmmm judul tentang itu saja, bagaimana?” Usul Ansanah.
Pada waktu itu juga, mencari pena dan kertas. Gadis cantik ini membantu Asrul membuat puisi tentang abangnya. Akhirnya selesai coretan puisinya Asrul dan Ansana. Senang, mengingat kakaknya lewat puisi ini. Waktu pun tiba. Selang satu minggu pun berlalu, tepat ujian membaca puisi dimulai. Peserta pertama Ansanah sendiri, terus disusuli sesuai urut abjad, dan tepat di urutan “M”, Muhammad Asrul Ma’ruf. Asrul maju kedepan kelas, semua diam, tak percaya bahwa dia bisa berpuisi. Asrul berdiri tegap di depan kelas. Memandangi ke semua teman-teman dan pak guru. Dan memulai…
Sepatu
Sepatuku….. kau kumuh, pudar, tapi kau adalah sepatuku
Sobek, ah tidak jadi masalah.
Kau semakna dengan hidupku.
Aku jatuh.Sakit.bangkit.dan kuat.
Itulah aku … hidupku
Kau jalan pengingat untukku
Untuk mengingat perjalanan hidup ini.
Ayah.ibu.Rais
Tanpa kalian aku tidak akan mampu seperti ini,
Berdiri kuat, melawan kerasnya hidup
Oleh : Muh.Asrul Ma’ruf
Semua terdiam, memandangi Asrul dengan kagum padanya, hanya puisinya yang membuat semua orang terdiam dan kagum. Ansana sangat tidak percaya. Karena puisi yang dibaca oleh Asrul tak sesuai yang pernah dicatat oleh dia bersama Asrul. Selesai membaca puisi Ansanah mengikuti Asrul dan ingin bertanya.
“Asrullll… “ Teriak, panggilan Ansanah.
Menoleh dan melihat ke arah Ansanah, “Ada apa An?” Berhenti sejenak di depan LAB IPA, dan duduk di koridor LAB tersebut.
“Rul, kenapa kamu ganti puisinya?” Sambil tersenyum Asrul menjawab, “Oh iya An, saya lupa kasih tau ke kamu, sebenarnya saya termotivasi dari sepatu ini, ini pemberian abangku, abang Rais. Abang Rais yang memberikan sepatu ini pada saya, kata abang, itu sepatu pemberian almarhum ayah dan ibuku, dan menurut saya sepatu ini jadi punghubung saya sama ayah, ibu, dan bang Rais ketika jauh dari mereka. Kalau puisi yang kemarin itu hanya berkenaan tentang abangku, bukan tentang ayah dan ibu. Semangat abang itu berasal dari mereka, jadi perlu mengingat semuanya. Puisi ini yang membuat saya ingat semua keluarga saya, Jadi, maafkan saya An.” Ucap datar Asrul.
Tiba-tiba datanglah Erwin dan gengnya menghampiri Asrul yang bersama Ansana.
“Hei kamu….., mana sepatumu itu?” Sambil membuka sepatu yang dipakai Asrul, dibantu teman-teman Erwin memegang tangan dan kaki Asrul. Ansana Pun hanya bisa terdiam dan tidak berkutik, begitu terlihat marah di wajah Erwin.
“Hei…mana sepatuku?” Teriak Asrul sambil memberontak melepas pegangan teman-teman Erwin.
“Sepatu apa ini? Sepatu jadul, gak ada model, jelek.” Sepatu itu diinjak-injak Erwin, Asrul hanya bisa melihat dengan penuh rasa sakit di hati dan marah.
“Erwin…,” Teriak Ansanah dan lari mengambil sepatu Asrul itu. Erwin langsung pergi meninggalkan Asrul dan Ansana. Asrul lari dan mengambil sepatunya, duduk menangis di depan sepatunya, berlutut, memandangi mereka dan bersuara lirih,
“Mereka tidak pernah tahu arti dari sebuah pemberian dari orang yang sangat berarti dalam hidup mereka. Mereka lupa, mereka punya ayah, ibu, dan saudara kandung mereka. Saya bisa membeli lagi sepatu baru, tapi, kebahagiaan dari sepatu ini tidak bisa diperjualbelikan. Biasa bagi mereka tapi bagiku tidak. Sepatuku…..”
By' Na Erna Sumba Alumni P2S2 Sukorejo