Salah satu riwayat awal pendirian Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari peran KH Raden As’ad Syamsul Arifin. Ia menjadi wasilah
(perantara) ketika Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari meminta
restu kepada gurunya, KH Cholil Bangkalan untuk mendirikan jam’iyah
Nahdlatul Ulama.

Santri As’ad kala itu menjadi penyampai pesan Kiai Cholil Bangkalan
kepada Kiai Hasyim Asy’ari. As’ad yang saat itu menjadi santri Kiai
Hasyim Asy’ari di Tebuireng diutus untuk menemui Kiai Cholil di
Bangkalan, Madura. Sebelumnya, As’ad juga nyantri di Pesantren
Kademangan asuhan KH Cholil Bangkalan.
As’ad mengungkapkan bahwa petunjuk hasil dari istikharah gurunya, KH
Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil
keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru
KH Hasyim Asy’ari.
Ada dua petunjuk yang harus disampaikan oleh As’ad sebagai penghubung
atau wasilah untuk menyampaikan amanah KH Cholil kepada KH Hasyim
Asy’ari. Hal itu merupakan bentuk komitmen dan takzim santri kepada
gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis.
Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di
tengah situasi penjajahan saat itu.
Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta
oleh KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng.
Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat
Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.
Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali
diutus KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap
dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar). Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu KH Hasyim Asy’ari.
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang
dikalungkannya dan mempersilakan KH Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya
sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin
mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin
menyentuh tasbih sebagai amanah dari Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim
Asy’ari. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad
sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.
Setelah tasbih diambil, KH Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad: “Apakah
ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”,
dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan
sang guru. KH Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah swt telah
memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyah”. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 72)
Dari perannya sebagai wasilah pendirian NU tersebut, Raden As’ad Syamsul
Arifin bisa dikatakan sebagai ‘santri khos’ KH Cholil Bangkalan dan KH
Hasyim Asy’ari. Dalam Ensiklopedia NU Jilid 1 (2014: 147)
dijelaskan bahwa KH As’ad Syamsul Arifin lahir Sy’ib, Makkah pada tahun
1897 M/1315 H dari pasangan KH Syamsul Arifin dan Nyai Hj Siti Maimunah
ketika mereka menunaikan ibadah haji.
Ketika As’ad Syamsul Arifin menginjak usia enam tahun, ia dibawa pulang
oleh orang tuanya ke Indonesia, sementara saudaranya bernama Abdurrahman
dititipkan kepada saudara sepupunya yang tinggal di Makkah, Arab Saudi.
Pendidikan dan sanad keilmuan
Awalnya, As’ad dan keluarganya tinggal di pondok pesantren
keluarganya di Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah 4-5 tahun,
mereka pindah ke Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur yang saat
itu masih berupa hutan belantara.
Pengembaraan awalnya dalam menuntut ilmu, KH Syamsul Arifin mengirim
As’ad ke Pondok Pesantren Banyuanyar yang didirikan KH Itsbat Hasan pada
tahun 1785 M. Ketika As’ad masuk, Pesantren Banyuanyar diasuh oleh KH
Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Di Pesantren Banyuanyar, As’ad nyantri
selama tiga tahun (1910-1913).
Setelah dari tiga tahun nyantri di Pesantren Banyuanyar, As’ad kemudian
dikirim ayahnya ke Madrasah Shaulatiyah. Perguruan yang cukup terkemuka
di Makkah. Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad bertemu dengan beberapa santri
dari Indonesia seperti Zaini Mun’im, Ahmad Thoha, Muhammadun, dan
Baidlowi Lasem.
Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad berguru kepada Sayyid Abbas al-Maliki
(ayah dari Sayyid Alwi al-Maliki), Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Muhammad
Amin al-Quthbi, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif Syanqithi. Setelah
beberapa tahun di Madrasah Shaulatiyah, As’ad kembali ke Indonesia dan
berguru kepada KH Nawawi (Pesantren Sidogiri), KH Khazin (Pesantren
Panji Siwalan), KH Cholil Bangkalan (Pesantren Kademangan), dan KH
Hasyim Asy’ari (Pesantren Tebuireng).
Perjuangan dan kiprah
Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, KHR As'ad Syamsul
Arifin dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari
Madura "membabat alas" (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk
didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas
saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai
Asadullah, dua tokoh yang juga guru Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Usaha As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren
kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushola, dan asrama
santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja. Sejak tahun 1914,
pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri
dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya
dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.
Sepeninggal sang ayah KH Syamsul Arifin pada tahun 1951, kepengasuhan
pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah diberikan kepada Kiai As’ad. Di
bawah asuhannya, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah mengalami
perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 1968 berdirilah
sebuah Universitas Syafi’iyah dengan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas
Dakwah (saat ini Universitas Ibrahimy) juga sejumlah layanan pendidikan
formal di berbagai jenjang.
Estafet kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putera-puteri KH As’ad
Syamsul Arifin, yaitu Zainiyah, Nur Syarifah, Nafi’ah, Mukarromah,
Makkiyah As'ad, Isyaiyah As'ad, Raden Fawaid As’ad, dan Raden Kholil
As’ad. Saat ini, KH Achmad Azaim Ibrahimy (cucu KH As’ad Syamsul Arifin)
menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.
Melawan penjajah Belanda dan Jepang
Di era pergerakan nasional melawan penjajah Belanda dan Jepang, KH
As’ad Syamsul Arifin aktif memberikan perlawanan. Ia ikut dalam perang
gerilya pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Dalam perang gerilya
tersebut, ia bersama barisan pelopornya berhasil merampas
senjata-senjata milik pasukan Belanda di daerah Gudang Mesiu Dabasah
Bondowoso (sekitar akhir Juli 1947).
Adapun pada 10 November 1945, Kiai As’ad Syamsul Arifin membantu
pertempuran di Surabaya dengan mengirim anggota pelopor dan pasukan
Sabilillah Situbondo dan Bondowoso ke daerah Tanjung Perak. Pasukan yang
dikirimnya terlibat pertempuran hebat di Jembatan Merah Surabaya.
Kemudian pada September dan awal Oktober 1945, Kiai As’ad memimpin
pelucutan senjata para serdadu Jepang di Garahan, Jember, Jawa Timur.
Tindakan tersebut dilakukan setelah pasukan Jepang tidak mau menyerahkan
senjatanya kepada pasukan yang dipimpin oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Mengomando santri hingga preman
“Perang itu harus niat menegakkan agama dan ‘arebbuk negere’ (merebut negara), jangan hanya ‘arebbuk negere! Kalau hanya ‘arebbuk negere’,
hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan
membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk
surga!”
Pernyataan tersebut merupakan petuah dan motivasi perjuangan dari KH
Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) kepada pasukan santri (Hizbullah
dan Sabilillah) dan pasukan pemuda yang awalnya menjadi preman, brandal,
bajingan, dan jawara (Pelopor) untuk melawan penjajah Belanda.
Pernyataan yang dikutip Munawir Aziz dalam bukunya Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional
(2016) tersebut tidak hanya menggelorakan semangat juang para pemuda di
wilayah Tapal Kuda, tetapi juga menyadarkan bahwa membela tanah air
seiring dengan kewajiban membela agama. Sosok Kiai As’ad Syamsul Arifin
menjadi inspirasi karena memiliki keilmuan, kemampuan, dan visi
perjuangan yang lengkap.
Kiai As’ad memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni, mempunyai ilmu
kanuragan dan bela diri, serta cukup menguasai ilmu militer. Selain
menggerakkan para santri, Kiai As’ad juga cerdik dalam mengomando para
bandit agar membantu perjuangan para santri mengawal kemerdekaan
Indonesia.
Kemampuan Kiai As’ad dalam mengorganisasi para brandal dan jawara dari
wilayah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang,
dan Pasuruan dicatat oleh Syamsul A. Hasan (2003) yang dikutip Munawir
Aziz. Kiai As’ad Syamsul Arifin mengumpulkan para bandit dan jawara
tersebut dalam laskar bernama Pelopor, seperti dijelaskan di atas.
Barisan Pelopor sering berpakaian serba hitam. Mulai dari baju, celana
hingga tutup kepala. Senjata yang digunakan oleh barisan Pelopor ialah
senjata-senjata khas daerah yakni celurit, keris, dan rotan. Yang unik
menurut catatan tersebut, para bandit dan jawara yang berada di barisan
Pelopor ini sendiko dawuh dan setia pada komando Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Kala itu, Kiai As’ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik
untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Baik pasukan Pelopor maupun
laskar santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah
berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung
untuk menyerang pasukan Belanda lalu mengamankan diri.
Tokoh Khittah NU 1926
KH As’ad Syamsul Arifin bersama tokoh-tokoh lain di antaranya KH
Achmad Siddiq, KH Abdurrahman Wahid serta lainnya turut berjuang dalam
mewujudkan NU kembali Khittah 1926. Naskah Khittah NU tersebut dibahas
dan dimatangkan dalam Munas NU tahun 1983 di Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo selain memutuskan perumusan naskah
hubungan Pancasila dan Islam serta menerima Pancasila sebagai asas
tunggal organisasi. Sehingga pada tahun 1983, NU resmi Kembali ke
Khittah NU.
Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama
(2010) menjelaskan bahwa kegelisahan Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk
mengembalikan NU rel pendirian awal (Kembali ke Khittah 1926) juga
disebabkan karena NU selama dipimpin KH Idham Chalid terlalu tenggelam
dalam aktivitas politik. Paham keulamaan yang terwujud dalam
representasi syuriyah juga mengalami pergeseran nilai.
Sehingga Munas NU tahun 1983 yang tidak dihadiri oleh KH Idham Chalid
berupaya mengembalikan kewibawaan ulama, mengembalikan peran dan fungsi
serta otoritas ulama. Dengan kata lain, Kembali ke Khittah 1926 berarti
menjaga dan melestarikan paham keulamaan sebagai salah satu sistem nilai
yang selama ini berlaku di NU. Paham keulamaan sebagai ruh di NU juga
sebagai konsekuensi dari perwujudan akidah Ahlussunnah wal Jamaah
(Aswaja).
Karya-karya KH As’ad Syamsul Arifin
Selain kesaktian dan karomah-karomah yang dimilikinya, KH As’ad
Syamsul Arifin juga menulis sejumlah kitab dan buku di bidang akidah,
tauhid, fikih, muamalah, sejarah, sastra, dan amaliah sehari-hari.
Berikut buku dan kitab karya KH As’ad Syamsul Arifin:
1.Tsalats Risail, kitab setebal 21 halaman ini ditulis dengan
huruf arab dan berbahasa Indonesia. Materi kitab ini berasal dari kitab
Mafahim Yajib an Tushahhah karangan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki
dan beberapa kitab dan ulama yang lain.
Tiga bahasan dalam Tsalats Risail, pertama masalah hakikat Asyariyah
(paham pemikiran Imam al-Asyari dan pengikutnya). Kedua, tentang
Qodaniyah atau Ahmadiyah. Ketiga, membahas sekelumit akidah, syariat,
dan akhlak Ahlussunnah wal Jamaah.
2. Risalah Shalat Jumat, kitab setebal 19 halaman ini ditulis
dalam bahasa Arab. Pada permulaan, kitab yang membahas sholat Jumat ini
berisi kutipan-kutipan ulama dari sebelas kitab, di antaranya al-Umm,
Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah, dan Nihayah al-Muhtaj) tanpa di
terjemahkan. Kiai As’ad kemudian memaparkan (dengan bahasa Madura)
sejarah sholat Jumat di satu masjid.
Kemudian karena beberapa alasan (Kiai As’ad menyebut enam sebab), maka
di sebuah daerah yang luas dan padat penduduknya diperbolehkan sholat
Jumat di beberapa tempat. Kitab ini berakhir pada halaman 13. Sedangkan
halaman 14-19 berisi tentang masalah ziaroh kubur dan istighosah.
3. At-Tajlib al-Barokah fi Fadli as-Sa’yi wa al-Harokah, kitab
setebal 31 halaman ini membahas tentang muamalah dalam Islam. KH As’ad
Syamsul Arifin menulis kitab ini pada momen malam pemilihan umum pertama
dalam sejarah Indonesia yaitu pada 15 Desember 1955.
Kitab ini berisi beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad
tentang asal-usul kehidupan, bercocok tanam, mencari rezeki, dan
muamalah lainnya. Dalam kitab ini Kiai As’ad Syamsul Arifin lebih
memposisikan diri sebagai penyeru moral, tidak sampai pada tataran
konsep dan strategi bermuamalah dalam hal-hal tersebut.
4. Risalah at-Tauhid, kitab setebal 42 halaman ini ditulis
dengan huruf Arab tapi berbahasa Madura. Kitab ini membahas tentang ilmu
tauhid namun lebih banyak mengupas masalah tasawuf. Misalnya, membahas
tingkatan iman, macam-macam fana fillah, tujuan masuk tarekat, guru
tarekat, dan waliyullah.
Dalam kitab ini Kiai As'ad Syamsul juga mengingatkan agar kita tidak
usah meminta menjadi orang yang keramat dan terkenal. Tapi kita berdoa
agar menjadi orang yang cinta dan ridho kepada Allah. Menurut Kiai As'ad
kalau ada seorang yang mengaku wali sesungguhnya orang tersebut bukan
wali.
5. Tarikh Perjuangan Islam Indonesia, buku setebal 43 halaman ini
ditulis menggunakan huruf Arab berbahasa Indonesia. Buku membahas
tentang sejarah Wali Songo dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa
dan Madura. Dalam buku ini menurut Kiai As’ad Syamsul Arifin setelah
Nabi Muhammad wafat, para sahabat mengadakan musyawarah untuk
menyebarkan Islam ke berbagai negara.
Dalam buku ini, Kiai As’ad juga membahas tentang kunci sukses dakwah
Wali Songo yang mengunnakan pendekatan langsung kepada masyarakat dengan
penuh ikhtiar dan tawakal yang disertai sabar, qonaah, wara’, zuhud,
dan lain-lain.
6. Isra’ Mi’raj, buku setebal 21 halaman ini ditulis dengan
huruf Arab berbahasa Madura. Buku yang ditulis pada 27 Syawal 1391 H
atau 17 Desember 1971 ini membahas tentang perjalanan isra’ mi’raj Nabi
Muhammad saw.
7. Syair Madura, syair ini ditulis sebanyak 232 baris oleh KH As’ad
Syamsul Arifin dengan huruf Arab dan berbahasa Madura. Syair ini ditulis
pada bulan Ramadhan, tahunnya tidak ditemukan. Buku ini memberikan
informasi bahwa Kiai As’ad Syamsul Arifin juga seorang penyair dan
memiliki cita rasa seni.
Hal itu mengingatkan kepada sosok KH Hasyim Asy’ari, guru Kiai As’ad. KH
Hasyim Asy’ari yang selama ini dikenal kepakarannya di bidang hadits
ternyata juga seorang sastrawan. Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Asad
Syihab dalam bukunya Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri (1994).
Asad Syihab (1994: 30) menjelaskan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari merupakan
seorang pembicara yang fasih dan termasuk sastrawan yang menonjol.
Beliau dalam berbagai kesempatan sering membacakan syair dan beliau
mempunyai kumpulan puisi-puisi panjang yang beliau baca sendiri dalam
berbagai forum. KH Hasyim Asy’ari juga memiliki banyak karangan dalam
bidang sastra budaya.
KHR As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 di Sukorejo,
Situbondo, Jawa Timur pada usia 93 tahun. Beliau dimakamkan di kompleks
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.
Atas jasa serta perjuangan Kiai As’ad, Pemerintah RI menganugerahinya
gelar Pahlawan Nasional pada 9 November 2016. Gelar tersebut diberikan
berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016.